InjiWarrior - Tahun ke tahun konflik taman nasional dengan masyarakat desa kerap terjadi. Tuduhan hingga menuju pelaku condong mengarah ke masyarakat.
Sepanjang sejarah perjalanan konflik kawasan konservasi, pihak yang selalu dirugikan adalah masyarakat desa hutan.
Dengan mengupayakan usulan Kemitraan Konservasi, masyarakat yang tinggal bermukim dan sekaligus mengelola sumberdaya hutan yang berpuluh-puluh tahun lamanya tidak lagi disebut masyarakat perambah.
Sebenarnya Kemitraan Konservasi merupakan salah satu kebijakan baru Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang bertujuan meredakan sengketa pemanfaatan lahan hutan di kawasan hutan fungsi konservasi.
"Saya optimistis dan percayalah bahwa masyarakat mampu mengurus hutan. Saya tidak pernah ada pemikiran yang negatif terhadap masyarakatnya," tutur Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wiratno.
Dari sekitar 27 juta hektare hutan konservasi, menurut Wiratno, 1,8 juta hektare di antaranya telah rusak. Angka yang tidak bisa dianggap remeh.
Wiratno memandang persoalan hutan di Indonesia dari sudut berbeda. Menurutnya, praktik-praktik perusakan seperti penebangan pohon dan perburuan satwa dilindungi merupakan bagian dari gejala atau simptom. Sedangkan core problem sesungguhnya adalah kemiskinan.
"Saya kira ini jalan tengah yang bagus dan terbaik untuk Indonesia, melihat kondisi sosial ekonomi masyarakatnya dan situasi sejarah penetapan TNGL," kata Wiratno.
Wiratno tak menampik bahwa KTHK bisa dipandang publik sebagai trik untuk mengampuni para perambah. Lagi-lagi, Wiratno punya pandangan beda.
"Kalau mereka masuk kawasan karena miskin, ya harus diberi solusi. Kemitraan konservasi ini bukan hanya pemberian akses, tapi kembali kita belajar untuk membangun dialog. Karena pada prinsipnya manusia adalah makhluk berkomunikasi," ucap Wiratno.
Program KTHK sendiri merupakan produk awal Wiratno usai dilantik pada 2017.
Melalui 10 prinsip, Wiratno memperkenalkan panduan baru dalam tata cara dan pengelolaan kawasan konservasi. Di antaranya menempatkan masyarakat sebagai subjek atau pelaku utama. Poin lain menyentil tentang hak asasi manusia dengan segala adat budayanya.
Menurut Wiratno, inovasi ini merupakan hasil dari analisa panjang terhadap persoalan kompleks konflik tenurial di Indonesia. Dia yakin kemitraan konservasi merupakan jalan tengah untuk memulihkan ekosistem tanpa merugikan siapapun. Setidaknya dalam menghentikan laju perambahan.
"Masyarakat menjadi social buffer, membantu kami menjaga kawasan konservasi. Sebetulnya mengurus hutan di Indonesia ini tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ekonomi masyarakat setempat," kata Wiratno.