Inji Warrior, Medan - Harimau Jawa adalah salah satu dari sekian banyak hewan endemik dari Pulau Jawa. Kucing besar ini dinyatakan punah sejak tahun 1980-an, meskipun beberapa warga meyakini pernah melihatnya lagi.
Dibandingkan dengan jenis-jenis harimau di Benua Asia, harimau jawa terhitung bertubuh kecil. Namun harimau ini mempunyai ukuran tubuh yang lebih besar daripada harimau bali dan kurang lebih sama besar dengan harimau sumatera. Harimau jawa jantan mempunyai berat 100-140 kg, sementara yang betina berbobot lebih ringan, antara 75–115 kg. Panjang kepala dan tubuh hewan jantan sekitar 200-245 cm; hewan betina sedikit lebih kecil.
Hewan bernama latin panthera tigris sondaica ini dinyatakan punah oleh IUCN pada tahun 2003. Harimau jawa merupakan salah satu dari sedikit jenis harimau pulau, bersama dengan harimau Sumatera dan harimau Bali.
Harimau Jawa yang seharusnya menjadi kebanggaan warga Indonesia ini ternyata punah karena manusia. Mereka punah akibat dari perburuan, pembukaan hutan, hingga tradisi yang mendorong kepunahan harimau loreng itu.
Dikutip laman resmi Mongabay, situs yang menyuarakan permasalahan lingkungan, harimau jawa resmi diakui telah punah sejak tahun 1980-an. Pernyataan tersebut juga dipastikan oleh IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources).
Selain itu, kesimpulan serupa juga dilayangkan dalam pertemuan CITIES (Conservation on International Trade in Endangered Species od Wild Fauna dan Flora) di Fort Lauderdale, Florida, Amerika Serikat pada Desember 1996.
Kebijakan Membuka Hutan untuk Perkebunan Oleh Belanda dan berbagai faktor menjadi penyebab kepunahan pemuncak rantai makanan di Pulau Jawa itu. Salah satu awal mula kepunahan harimau Jawa itu adalah penggundulan hutan secara luas untuk keperluan pertanian dan perkebunan pada masa pemerintahan kolonial Belanda.
Dalam laman Mongabay diterangkan pengembangan perkebunan di pertengahan abad ke-19 menjadi pemicu perubahan signifikan dalam perpindahan penduduk dan dampak ekologi. Penggunaan senjata untuk memburu harimau dan mangsanya mendorong perubahan dalam ekosistem hutan Jawa.
Pada waktu yang bersamaan, laporan mengenai harimau yang memangsa ternak hingga mengancam manusia pun meningkat. Itu kemudian menjadi alasan manusia untuk berlomba-lomba berburu harimau jawa.
Pada 1822, Pemerintah Kolonial Belanda terpaksa mengontrak individu untuk melakukan perburuan harimau. Kemudian, antara tahun 1830 hingga 1870, Pemerintah Belanda memulai upaya besar-besaran dalam membuka hutan untuk perkebunan di Pulau Jawa.
Seiring dengan ekspansi tersebut, terjadi peningkatan konflik antara harimau Jawa dan manusia. Harimau tidak lagi memiliki lingkungan yang aman selama masa kolonialisme tersebut. Belanda yang tanpa mempedulikan mitos lokal, menetapkan harimau Jawa sebagai target pemburuan yang harus dieliminasi.
Dikutip situs yang sama, ritual Rampogan Macan adalah sebuah pertunjukan yang menampilkan pertarungan antara manusia dengan harimau Jawa, yang melambangkan penyelarasan kembali tatanan.
Awalnya, tradisi ini merupakan sebuah upacara yang sakral, namun prinsip tersebut berubah seiring berjalannya waktu. Ritual ini tak lagi dipandang sebagai upacara, melainkan menjadi semacam hiburan belaka.
Ritual Rampogan Macan terdiri dari dua babak. Babak awal melibatkan pertempuran antara harimau, kerbau (Bubalus bubalis), dan Banteng (Bos sundaicus). Sedangkan babak kedua menampilkan pertarungan antara harimau dan ribuan manusia yang bersenjatakan tombak.
Luas hutan Jawa mengalami penurunan yang sangat signifikan. Itu bisa disebabkan oleh berbagai faktor, namun yang paling berdampak adalah alih fungsi hutan.
Tingginya jumlah pertumbuhan populasi di Pulau Jawa, membuat berhektare-hektare hutan beralih fungsi menjadi permukiman warga. Selain itu, ada pula lahan pertanian, industri, hingga infrastruktur yang turut andil dalam penggundulan hutan.
Dikutip laman Forest Digest, saat ini hutan di Jawa hanya 24% dari total luas pulau. Setara dengan 129.600,71 kilometer persegi.
Pada dekade 1940-an, populasi harimau jawa diperkirakan tinggal 200 hingga 300 ekor. Namun, beberapa dekade berikutnya, keberadaan harimau Jawa seolah menghilang tanpa jejak.
Harimau jawa tercatat menghuni hutan-hutan dataran rendah, hutan belukar, dan mungkin pula berkeliaran hingga ke kebun-kebun wanatani di sekitar perdesaan, karena pernah pada masanya hewan ini dianggap sebagai hama sehingga banyak diburu atau diracun orang. Wilayah jelajahnya tidak melebihi ketinggian 1.200 m dpl.
Pada tahun 1950-an, ketika populasi harimau jawa hanya tinggal 25 ekor, kira-kira 13 ekor berada di Taman Nasional Ujung Kulon. Sepuluh tahun kemudian angka ini kian menyusut. Pada tahun 1972, hanya ada sekitar 7 harimau yang tinggal di Taman Nasional Meru Betiri.
Ada kemungkinan kepunahan ini terjadi di sekitar tahun 1950-an ketika diperkirakan hanya tinggal 25 ekor jenis harimau ini. Terakhir kali ada sinyalemen dari harimau jawa ialah pada tahun 1972. Pada tahun 1979, ada tanda-tanda bahwa tinggal 3 ekor harimau hidup di Pulau Jawa. Kemungkinan kecil binatang ini belum punah. Pada tahun 1990-an ada beberapa laporan tentang keberadaan hewan ini, walaupun hal ini tidak bisa diverifikasi.
Meskipun demikian banyak laporan penampakan harimau jawa di hutan Jateng dan Jatim.
Pada akhir tahun 1998 telah diadakan Seminar Nasional harimau jawa di UC UGM yang berhasil menyepakati untuk dilakukan "peninjauan kembali" atas klaim punahnya satwa ini. Hal tersebut karena bukti-bukti temuan terbaru berupa jejak, guratan di pohon, dan rambut, yang diindikasikan sebagai milik harimau jawa. Secara mikroskopis, struktur morfologi rambut harimau jawa dapat dibedakan dengan rambut macan tutul. Oleh karena itu hingga sekarang masih dilakukan usaha pembuktian eksistensi satwa penyandang status punah ini.
Di samping harimau jawa, ada dua jenis harimau yang punah pada abad ke-20, yaitu harimau bali dan harimau kaspia.
Sensus terakhir tentang keberadaan harimau jawa dilakukan selama 1 tahun, yaitu sejak tahun 1999-2000. Survei selama 12 bulan ini berlangsung di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur, atas permintaan langsung kepala taman nasional, Indra Arinal, dan didukung oleh Direktur Konservasi Flora dan Fauna, Ir. Koes Saparjadi, karena adanya laporan dari beberapa orang staf taman nasional serta warga setempat yang menduga bahwa harimau jawa masih ada.
Sebanyak 12 staf taman nasional dilatih dengan dibekali 20 unit kamera, selain itu juga mendapat bantuan dari yayasan "The Tiger Foundation" berupa 15 unit kamera inframerah dalam rangka memfasilitasi upaya sensus. Hasil sensus mengatakan bahwa tiidak ada harimau jawa, hanya sedikit mangsa, banyak pemburu liar.
Sesekali, laporan tidak resmi dari harimau jawa masih muncul dari penggemar yang percaya harimau masih ada di Jawa.
Pada November 2008, sebuah jasad wanita tak dikenal dari pendaki gunung ditemukan di Taman Nasional Gunung Merbabu, Jawa Tengah, yang diduga meninggal karena serangan harimau. Penduduk desa yang menemukan tubuhnya juga mengklaim beberapa penampakan harimau di sekitarnya.
Dugaan penampakan lain terjadi di Kabupaten Magetan, Jawa Timur, pada bulan Januari 2009. Beberapa warga mengaku telah melihat harimau betina dengan dua anaknya berkeliaran di dekat sebuah desa yang berdekatan dengan Gunung Lawu. Berita ini memicu kepanikan massal. Pemerintah setempat menemukan beberapa jejak segar di lokasi. Namun, pada saat itu, hewan-hewan yang dimaksud sudah lenyap.
Setelah letusan Gunung Merapi pada Oktober 2010, dua warga Indonesia telah mengklaim penampakan dari bekas cakar kucing besar di abu sisa, yang memicu rumor bahwa harimau atau macan tutul berkeliaran di peternakan yang ditinggalkan untuk mencari makanan. Personil dari taman nasional di dekatnya tidak berpikir bahwa itu bekas cetakan kaki dari harimau.
Pada akhir November–Desember 2020, beberapa warga mengaku melihat penampakan satwa liar yang diduga harimau dan berkulit loreng sebanyak dua ekor di sekitar lereng Gunung Wilis, Kecamatan Sendang, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Menurut informasi yang diterima Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), ada sekitar lima warga yang melihat penampakan tersebut. Selain itu, warga juga menemukan jejak kaki serta usus binatang yang diduga hasil buruan harimau. Untuk menganggapi laporan dari warga, BKSDA memasang kamera pengintai di beberapa titik pada Januari 2021 untuk memastikan adanya keberadaan harimau jawa.