INJIWARRIOR

Injiwarrior.com adalah portal berita lingkungan yang menyampaikan informasi edukatif serta informasi tentang pengungkapan, pencegahan maupun penindakan kasus - kasus kejahatan satwa liar dan pengrusakan hutan di Indonesia. Kami menyampaikan berita yang berkualitas dan berupaya menerapkan standar tinggi jurnalisme dalam meliput peristiwa dan menuliskannya secara tajam, cerdas dan berimbang.

Catatan Walhi Soal Krisis Lingkungan yang Makin Parah 2025

Deputi Eksternal Eksekutif Nasional WALHI, Mukri Friatna dan Kepala Divisi Public Engagement Walhi, Adam Kurniawan dalam Environmental Outlook 2025 Walhi, belum lama ini.  foto/ist

Nasional

Catatan Walhi Soal Krisis Lingkungan yang Makin Parah 2025

Meliputi proyek ketahanan pangan (food estate), pencemaran akibat kegiatan pertambangan, kebijakan yang menimbulkan konflik agraria, dan kriminalisasi.

08 Maret 2025 14:29:00 WIB 08 Maret 2025 15:14:50 WIB


Inji Warrior, Jakarta - Perlindungan terhadap lingkungan hidup yang baik dan sehat selalu menghadapi berbagai tantangan. Persoalan ini tak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga secara global. Krisis akibat rusaknya lingkungan hidup sudah dirasakan dampaknya mulai dari kemarau panjang, kekeringan, banjir, badai dan lainnya. 

Deputi Eksternal Eksekutif Nasional WALHI, Mukri Friatna, menilai pemerintah tidak serius melindungi lingkungan hidup yang baik dan sehat. Terlihat dari berbagai kebijakan seperti Peraturan Pemerintah No.42 Tahun 2021 tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional (PSN).

Beleid itu mengatur ketika proyek PSN terbentur persoalan lingkungan hidup dan tata ruang bisa diatasi melalui diskresi Menteri. Dampak kebijakan ini bagi lingkungan hidup antara lain kerusakan ekosistem, dan kriminalisasi terhadap masyarakat yang menolak proyek. 

Mukri mencatat sedikitnya 4 hal terkait kebijakan pemerintah yang berkontribusi terhadap krisis lingkungan dan berpotensi bertambah parah di tahun 2025. Pertama, proyek food estate yang tujuannya untuk ketahanan pangan. Padahal proyek serupa yang pernah dijalankan pemerintah periode sebelumnya, termasuk era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terbukti gagal. 

Bagi Mukri proyek ini justru menghasilkan konflik agraria, degradasi lahan gambut, dan penggusuran masyarakat hukum adat. Pemerintah menargetkan lahan food estate mencapai 2 juta hektar di Papua dan 770 ribu hektar di Kalimantan Tengah. Proyek food estate meningkatkan laju deforestasi dan degradasi lingkungan.  Ditambah lagi perkebunan sawit, pertambangan dan industri ekstraktif lain. 

“Kami memprediksi terjadi peningkatan (deforestasi,-red) sebesar 600 ribuan hektar di tahun 2025,” kata Mukri memaparkan Environmental Outlook 2025 Walhi bertema ‘Melanjutkan Tersesat, Atau Kembali Ke Jalan yang Benar", belum lama ini.

Kedua, krisis lingkungan akibat pencemaran tambang dan pesisir. Mukri mengatakan pertambangan di kawasan pesisir mengancam 35 ribu keluarga nelayan dengan 3.197 desa pesisir tercemar limbah tambang. Operasi smelter menghasilkan limbah yang berbahaya karena mengandung racun. 

Tercatat 55 pulau kecil telah dikapling untuk tambang mineral dan batubara sehingga merusak ekosistem laut dan kehidupan masyarakat adat. Krisis lingkungan ini akan berlanjut dan meningkat antara lain pencemaran udara, pesisir pantai dan sungai karena dampak operasional smelter.

Ketiga, konflik agraria, Walhi menghitung tahun 2023 sedikitnya terjadi 346 konflik agraria dengan luas area sekitar 638 ribu hektar dan melibatkan 135 ribu keluarga. Konflik diprediksi meningkat tahun 2025 akibat kebijakan pemerintah antara lain UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya yang mempermudah alih fungsi lahan untuk kepentingan investasi.

Keempat, kriminalisasi dan kejahatan lingkungan. Mukri mengkritik Pasal 162 UU No.3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara kerap digunakan untuk mengkriminalisasi masyarakat yang menolak aktivitas pertambangan. Sejumlah kasus kriminalisasi yang menuai sorotan antara lain menimpa 12 nelayan di Provinsi Bangka Belitung, menerima surat panggilan polisi setelah menolak aktivitas kapal isap pasir PT Timah karena merusak lingkungan laut. 

“Penolakan dianggap menghalangi aktivitas pertambangan, mengakibatkan para nelayan itu dikenakan sanksi pidana,” urainya.

Kemudian 3 warga desa Alasbuluh di Banyuwangi, Jawa Timur dikriminalisasi karena menolak tambang galian C, dijatuhi sanksi 3 bulan penjara. Selanjutnya 3 warga pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara, menerima panggilan Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara dengan tuduhan menghalangi aktivitas pertambangan nikel PT Gema Kreasi Perdana. 

Di pulau Jawa yang tercatat terjadi di Yogyakarta, sebanyak 18 warga Paguyuban Masyarakat Kali Progo dipanggil polisi atas tuduhan menghalangi aktivitas tambang pasir. Tak hanya masyarakat, aktivis lingkungan hidup juga dikriminalisasi antara lain menimpa Direktur Walhi bengkulu, Abdullah Ibrahim Ritonga, dipanggil polisi setelah mendampingi masyarakat Desa Pasar Seluma menolak tambang pasir besi PT FLBA.

Pada kesempatan yang sama, Kepala Divisi Public Engagement Walhi, Adam Kurniawan, krisis lingkungan menyebabkan lokasi sekitar PSN rawan bencana. Salah satunya banjir di Morowali yang intensitasnya semakin meningkat sejak wilayah itu sebagai pusat industri nikel (Indonesia Morowali Industrial Park). Begitu pula yang terjadi di Halmahera Tengah, Maluku Utara, banjir besar melanda sedikitnya 6 desa. 

JOIN US




JOIN US