INJIWARRIOR

Injiwarrior.com adalah portal berita lingkungan yang menyampaikan informasi edukatif serta informasi tentang pengungkapan, pencegahan maupun penindakan kasus - kasus kejahatan satwa liar dan pengrusakan hutan di Indonesia. Kami menyampaikan berita yang berkualitas dan berupaya menerapkan standar tinggi jurnalisme dalam meliput peristiwa dan menuliskannya secara tajam, cerdas dan berimbang.

Dilema Hidup di Tepi Hutan Berada di antara Konflik dan Kemanusiaan

Tim gabungan yang terdiri dari berbagai macam elemen bersatu dalam mitigasi konflik gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranusdan warga di Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara. (INJIWARRIOR/HO) 

Konservasi

Dilema Hidup di Tepi Hutan Berada di antara Konflik dan Kemanusiaan

Beberapa wilayah yang berbatasan langsung dengan hutan alami di kawasan TNGL seperti Kabupaten Langkat terutama Kecamatan Bahorok, Batang Serangan, dan Besitang harus mempersiapkan diri, mau tidak mau, suka tidak suka harus siap menemui konflik dengan satwa liar di habitat asli mereka.

30 Juni 2022 21:45:00 WIB 01 Januari 1970 07:00:00 WIB

SEKAWANAN gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranus) memasuki perkampungan di Dusun Sapo Padang, Desa Batu Jongjong, Kecamatan Bohorok belum lama ini. Warga yang tinggal berdekatan dengan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser melaporkan kejadian ini. Kebetulan warga tersebut adalah pemilik kebun tempat mamalia besar itu berkunjung. 

Menerima laporan tersebut, Petugas Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah V Bohorok Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) bermusyawarah dengan perangkat Desa Batu Jongjong, kemudian berlanjut dengan pengecekan langsung ke lokasi kejadian perkara, bersama-sama dengan pihak dari Komando Rayon Militer (Koramil), Mitra TNGL, tokoh masyarakat, dan masyarakat setempat.

Hasil observasi di lapangan, petugas menemukan 10 batang pohon kelapa dan beberapa pohon aren tumbang. Petugas menduga bahwa sekelompok satwa berkuping lebar yang bertanggung jawab terhadap kerusakan tersebut.

Di area sekitar konflik, petugas menemukan beberapa jejak gajah seperti bekas tapak kaki dan kotoran (feses).  “Tanda bahwa satwa tersebut ada di jalur yang diduga merupakan lokasi keluar masuk satwa bertubuh besar ini. Diperkirakan ada dua ekor gajah induk dan seekor gajah anakan berdasarkan data lapangan.” Ujar Kepala Resor Bohorok Balai Besar TNGL, I Wayan Dadu.

Selain melakukan pengecekan langsung ke lokasi, petugas juga memberikan alat penghalau satwa berupa petasan kepada warga di Dusun Sapo Padang, sebagai penanganan awal apabila konflik terjadi lagi.

Mitigasi Konflik

Banyaknya konflik yang terjadi di areal hutan di Sumatra Utara terutama di wilayah yang berdampingan dengan TNGL, membuat petugas atau otoritas maupun warga mempersiapkan diri dengan mengantisipasi datangnya konflik.

Januari dan April lalu, masuknya gajah Sumatra ke areal perkebunan dan permukiman warga membuat seluruh kalangan terkait dalam Tim Gabungan terdiri dari Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) Wilayah V Bahorok, bersama BBKSDA Sumut, Koramil Bahorok, Kepala Desa Bahorok, Kepala Dusun Sapo Padang, Mitra Wildlife Conservation Society (WCS), Yayasan Sumatera Hijau Lestari (YSHL), Keluarga Mahasiswa Pecinta Alam (KMPA) Batu Katak, berusaha memitigasi konflik dengan menggiring gajah kembali ke dalam hutan.

“Kita sudah lakukan berbagai cara untuk mengusir agar gajah kembali ke hutan. Salah satunya menghidupkan mercon atau dentuman. Kami juga menyerahkan mercon dan jenduman (terbuat dari paralon) kepada warga melalui Kepala Dusun (Kadus) setempat untuk menghalau satwa ini datang lagi. Memang saat ini belum maksimal maka Kami akan upayakan cara-cara baru dalam mitigasi konflik warga dengan gajah.” kata Kepala Seksi (Kasi) TNGL Wilayah V Bahorok, Palber Turnip melalui sambungan telepon seluler, Rabu (29/6/2022), seraya menambahkan, “Kami perkirakan ada empat individu gajah di daerah tersebut (Kecamatan Batu Jonjong), usaha mitigasi akan terus Kami lakukan, agar warga maupun satwa tetap dapat hidup berdampingan,” kata Palber Turnip

Dilema Hidup di Tepi Hutan

Dilema hidup di tepi hutan, berdampingan dengan hutan alami Sumatra yang menjadi habitat satwa endemik seperti gajah, harimau, orangutan, dan badak, membuat warga harus siap dan waspada terhadap konflik.

Beberapa wilayah yang berbatasan langsung dengan hutan alami di kawasan TNGL seperti Kabupaten Langkat terutama Kecamatan Bahorok, Batang Serangan dan Besitang harus mempersiapkan diri, mau tidak mau, suka tidak suka harus siap menemui konflik dengan satwa liar di habitat asli mereka.

“Untuk warga yang bermukim di Kecamatan Sei Lepan dan Sei Bingei, potensi konflik dengan satwa tetap ada, meski dengan intensitas yang lebih rendah,” kata Kepala Seksi Konservasi Wilayah II Stabat Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumatera Utara (Sumut), Herbet Aritonang April lalu. 

Herbert mengatakan, sedikitnya ada lima kali warga berkonflik dengan satwa. Di antaranya, gajah dua kali merusak tanaman dan pondok masyarakat Dusun Sapo Padang. Serta ada tiga ekor lembu peliharaan warga dimangsa harimau.

Di Kecamatan Besitang, tercatat ada delapan kali konflik. Dari konflik itu, lima ekor lembu mati, serta  terdapat jejak harimau serta gajah, termasuk dua gajah mati di areal kebun masyarakat.

Selain itu, BBKSDA Sumut mencatat ada 29 kali konflik antar masyarakat dengan satwa maupun antar satwa.

Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang dilindungi, gajah Sumatra merupakan satwa yang dilindungi.

Selain itu, the International Union for Conservation of Nature (IUCN) tahun 2011 mencatat status konservasi gajah Sumatra ke dalam kategori Critically Endangered.  Ini menunjukkan bahwa satwa endemik Sumatra ini berada di ambang kepunahan atau hanya satu tingkat dari status punah di habitat alaminya.

 

Tim Penulis: Melati Jaya Giri, Alfian Fandi N, Ellysa, M. Al Iksan, Arif Saifudin

JOIN US




JOIN US