INJIWARRIOR

Injiwarrior.com adalah portal berita lingkungan yang menyampaikan informasi edukatif serta informasi tentang pengungkapan, pencegahan maupun penindakan kasus - kasus kejahatan satwa liar dan pengrusakan hutan di Indonesia. Kami menyampaikan berita yang berkualitas dan berupaya menerapkan standar tinggi jurnalisme dalam meliput peristiwa dan menuliskannya secara tajam, cerdas dan berimbang.

Kasta dan Backing di Lingkaran Pasar Gelap Satwa


Ilustrasi / Inji Warrior/ Ig

Kejahatan Satwa

Kasta dan Backing di Lingkaran Pasar Gelap Satwa

Pemain di lingkaran perdagangan satwa juga punya ‘kasta’, ada yang punya backing keras, dan ada pemain yang mengandalkan kelihaiannya mengelabui petugas.

29 Maret 2023 16:44:00 WIB 31 Maret 2023 15:45:02 WIB

INJI Warrior - Kasus perdagangan satwa liar di wilayah Sumatera Utara (Sumut) dan Aceh naik turun secara dratis sepanjang lima tahun (2017 – 2022). Banyak pelakunya yang ditangkap, tapi proses penegakan hukumnya sulit terpantau. Hukuman yang tidak sebanding dengan tingkat kejahatannya mengundang tanya.

Ahmad Gozali, 67, warga Desa Tano Bato, Kecamatan Kayu Laut, Kabupaten Madina, mulai berburu sejak berusia 15 tahun. Senapan dan anjing-anjing terlatih adalah senjata berburunya ke hutan.

“Kalau dulu biasanya tidak sendirian, pergi ke hutan bersama pemburu lainnya, tak pulang kalau belum dapat buruan,” katanya ketika ditemui INJI Warrior di rumahnya,  awal Maret lalu.

 

Ahmad Gozali, mantan pemburu di Madina yang pernah menjual sejumlah satwa termasuk trenggiling, mengatakan bahwa penangkapan dan penjualan trenggiling pernah marak di daerahnya. Orang-orang menjualnya demi uang. Tapi kini mulai reda, dia sendiri tidak pernah menjualnya lagi. Foto: INJI Warrior

Pengalamannya berburu tidak lepas dari incaran hewan buas. Suatu kali pada tahun 1985 ketika pergi berburu rusa, dia bertatap muka sangat dekat dengan seekor harimau. Dia kira harimau itu akan memangsanya, namun berlalu pergi begitu saja. Warga desa tidak memburu harimau karena mereka menganggapnya hewan sakral.

“Kalau di kampung ini dipanggil ‘Oppui’, menyebut namanya saja orang tidak sembarangan, jadi itu jarang diburu,” katanya.

Nyawanya juga pernah terancam oleh babi hutan yang menyerangnya. Gozali dan pemburu lainnya lebih sering berburu rusa, kijang, dan babi, tapi kadang kala menemukan trenggiling di dekat perkampungan.

“Kalau trenggiling itu jarang diburu, biasanya datang sendiri dan ditangkap masyarakat dan dijual,” kata Gojali. Berbeda dengan rusa yang dagingnya bisa dijual dan tanduknya jadi incaran kolektor.

Menurut Gozali, trenggling kerap muncul begitu saja di pinggir hutan dekat pemukiman lalu ditangkap, lalu ada yang mau membelinya. Belakangan hewan itu menjadi incaran ketika semakin sering diperjualbelikan.

“Ketika saya mendapatkannya, orang-orang di desa ini datang minta biar mereka jual, katanya mereka tahu ke siapa menjualnya, sesudah mereka jual, saya kasih upah jual mereka,” kata Gozali.  

Warga desa menjualnya dalam keadaan hidup, dan harganya ditentukan berdasarkan beratnya. Sayangnya, mereka tidak pernah menanyakan kepada pengepul kenapa satwa itu dibeli, untuk apa, bagian tubuh mananya yang dijual atau informasi lainnya.

Gozali mengaku empat kali mendapatkan trenggiling dan menyuruh orang di desa untuk menjualnya. Pertama kali, dia sudah lupa tahun berapa persisnya. “Kira-kira tahun 90an,” katanya.

 

Inji Warrior/  Dok. Sumatra Eco Project

Seingatnya ketika itu dia sedang mencari rumput makanan kambing di saat hujan lebat dan menemukannya sedang menaiki pohon pisang. Beratnya sekitar 2 kilogram. 

Kedua kali, masih di tahun yang berdekatan, ketika anjingnya menggonggong sesuatu, dan ternyata trenggiling sekitar 1,5 kilogram. Ketiga, dia mendapatkanya di belakangan rumahnya, tapi ketika dia menaruh di goni di rumah, trenggling itu hilang.

“Goninya sudah bolong, kucari-cari dapat di kolong rumah, kuambil lagi,” katanya.

Keempat kalinya dia temukan di pinggir jalan pada malam hari, dia menemukan benda berkilat dengan senternya dan ternyata trenggiling, saat dia dekati hewan itu bergulung, beratnya sekitar 2,5 kilogram. Saat itu katanya, hewan trenggiling semakin sering dicari.  

Gozali tidak tahu bahwa hewan itu dilindungi, dia hanya terikut orang-orang di desa yang semakin sering menangkap dan menjualnya.

“Saya tidak tahu, kita ikuti aja orang-orang,” katanya.

Suatu hari, pada tahun 2018, saat sedang minum kopi di warung dekat rumahnya, Abdul Hafiz, 48, juga warga Desa Tano Bato, Kabupaten Mandailing Natal (Madina) melihat sesosok hewan yang bergerak di tepi jalan. Dia memperjelas pandangannya dan ternyata itu adalah trenggiling. Dia langsung menangkapnya dan memasukkannya ke dalam goni. Setelah ditimbang beratnya 2,5 kilogram.

 

Abdul Hafiz, warga desa di Madina yang juga pernah menjual trenggiling mengatakan bahwa perdagangan satwa dilakukan di pasar gelap. Pengepul hanya mau membeli dari warga yang dikenal dan dipercayai. Foto: INJI Warrior

Tapi, karena sudah malam Hafiz tidak mendapatkan pembelinya saat itu. Besok paginya, ketika kembali ke warung itu, beberapa orang warga desa menawarkan diri untuk menjualnya. Hafiz ingin ikut menjualnya tapi tidak diizinkan. “Kata mereka pembeli tidak mau beli kalau bukan dari orang yang sudah dia percaya,” katanya.

Hafiz pun menyerahkan trenggiling itu untuk mereka jual. Tak lama kemudian mereka kembali dan membawa sejumlah uang penjualan hewan itu. “Inilah (uangnya) untuk abang, bagian kami sudah kami ambil,” katanya.

Sebulan kemudian, pada malam hari ketika belanja di warung di dekat rumah, dia kembali menemukan trenggiling di dekat sepeda motornya, namun tidak sempat dijualnya karena keburu lari saat dia menyimpan di rumahnya selama empat hari.

Tapi, tak lama kemudian seorang penjaga kebunnya mendapatkan seekor trenggiling. Mereka ingin menjualnya juga. “Tapi, menjualnya pun ternyata tidak mudah,” katanya. Sebab, pembeli tidak mau membeli dari orang yang tidak dikenalnya.

Akhirnya dia menghubungi orang yang pernah menjual trenggilingnya sebelumnya, lalu pembeli mau membayarnya. “Uangnya habis kami gunakan untuk makan di rumah makan,” katanya menyebut sebuah rumah makan terkenal di Madina.

Saat menjualnya, menurut Hafiz, dia tahu bahwa pembeli hanya ingin menjual daging dan mengambil kulitnya, namun tidak pernah tahu pasarannya.

Belakangan dia tahu beberapa orang ditangkap karena menjual trenggiling, sejak itu dia melihat warga desa mulai jarang menangkap dan menjual trenggiling.  

Tapi bagi Hafiz, dorongan untuk menjual satwa itu kembali hanya tergantung satu kondisi.

“Tergantung kondisi keuangan. Kalau sudah tiga hari pusing mikirkan uang, kita juallah, kadang kan ekonomi ini yang memaksa,” katanya ketika ditanya apakah masih ingin menjual hewan itu.

Informan di lingkaran penyelundup

Trenggiling merupakan satwa yang paling banyak diperdagangkan, yaitu 3.156 ekor dari total 3.915 ekor dan 28 jenis satwa yang diperdagangkan, berdasarkan data kasus perdagangan satwa di wilayah Aceh dan Sumatera Utara selama lima tahun terakhir (2017 – 2022), yang dihimpun INJI Warrior.

Satwa ini banyak menjadi korban demi mendapatkan sisiknya. Untuk 1 kilogram sisik trenggiling, pemburu akan membunuh 3 – 5 ekor trenggiling. Selain trenggiling, satwa liar lain yang paling banyak diperdagangkan adalah belangkas, paruh rangkong gading, buaya muara, nuri, harimau Sumatera, kijang, kakaktua raja dan orang utan Sumatera.

Untuk mengkonfirmasi bagaimana pasar gelap perdagangan satwa, kami menemui Lengga*, bukan nama sebenarnya, seorang mantan penjual satwa dilindungi. 

Lengga bercerita, perdagangan satwa liar biasanya terdiri dari mata rantai yang saling terkait, yaitu pemburu, pengepul dan penjual. Para pemain di lingkaran penyelundupan satwa terdiri dari penjual yang memiliki jalinan dengan pengepul di daerah, dan pengepul di daerah itu yang terkoneksi dengan pemburu.  

Di tingkat bawah atau akar rumput, pengepul juga terkoneksi dengan masyarakat yang mendapatkan satwa tanpa sengaja, seperti Ahmad Gozali dan Abdul Hafiz. Hubungan mereka hanya sebatas jual beli. Tapi, kebanyakan tidak punya ikatan.

Di tingkat penjual ada yang langsung terkoneksi dengan pemburu, yang tiap kali pemburu dapat barang, dia akan mengutamakan penjual itu, lalu dia akan menjualnya melalui lingkarannya. Lalu di lingkaran penjual, ada lagi sejumlah penjual yang sifatnya hanya mencari keuntungan, yang tidak terkoneksi langsung dengan pemburu.

“Mereka-mereka ini biasanya ikut membantu menjual di akunnya masing-masing, tapi barangnya dari penjual yang punya koneksi ke pemburu tadi,” katanya.

Para penjual, reseller maupun dropshipper ini bermain di laman-laman online, seperti Facebook dan grup-grup WhatsApp. Di Facebook mereka memasarkan satwa itu di grup-grup yang mengaku sebagai pecinta hewan, dengan menggunakan akun palsu yang sulit dilacak, kadangkala menggunakan kode untuk satwa tertentu, atau sekadar mengunggah foto dan video dengan narasi seolah-olah tidak menjual.

Para pemainnya kini semakin hati-hati menjual satwa appendix, yaitu satwa yang masuk kategori dilindungi dan terancam punah, seperti harimau Sumatera, trenggiling, orangutan, setelah beberapa pemainnya ditangkap. Grup WA juga kini rentan disusupi orang yang mengaku pemain yang kadang menjadi informan untuk aparat.

“Sekarang kalau untuk hewan appendix mainnya di grup-grup WhatsApp yang anggotanya lebih terbatas,” katanya. “Untuk masuk di grup itu harus melalui rekomendasi anggota yang sudah bergabung di grup,” katanya. Menurutnya, sekarang ini masih banyak pemain yang aktif menjual hewan-hewan dilindungi, yang bermain di grup-grup rahasia.

Lengga sendiri juga tidak lagi menjual satwa appendix sejak suatu kali seorang yang mengaku ‘petugas pengawasan perdagangan satwa’, menghubunginya setelah melihatnya suatu kali mengupload hewan dilindungi di Facebook.

Lengga curiga petugas itu hanya ingin memerasnya karena melakukan interogasi tanpa adanya surat perintah dan enggan menunjukkan identitasnya. “Saat kutanya petugas dari mana dan minta sebutkan identitasnya, dia tidak mau,” katanya.

Oknum itu tidak pernah menghubunginya lagi. Tetapi sejak saat itu Lengga mulai khawatir bahwa dia telah menjadi target aparat, dan sejak saat itu tak lagi ‘main’ hewan appendix

 

Tak cukup hanya vonis maksimal

Berdasarkan data kasus perdagangan satwa selama lima tahun terakhir (2017 – 2022) di wilayah Aceh dan Sumut yang dihimpun INJI Warrior, sedikitnya ada 81 kasus perdagangan satwa, dan sebanyak 124 pelakunya yang ditangkap.

Dari semua kasus itu, tercatat pula bahwa rata-rata hukuman bagi pelaku 1 – 3 tahun penjara. Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati, maksimal hukuman terhadap pelaku kejahatan satwa dilindungi maksimal lima tahun dan denda Rp 100 juta. 

Salah satu kasus dengan hukuman lumayan maksimal adalah kasus perdagangan kulit harimau di Gampong Kapeh, Kecamatan Kluet Selatan, Aceh Selatan, Aceh, yang memvonis dua terdakwa Sarkawi Bin Warigo (41), Sabaruddin Bin M Yusak (45), selama 48 bulan penjara, 23 Juli 2018.   

Berdasarkan data GAKKUM Sumatera, jumlah kasus perdagangan satwa sepanjang tahun 2015 – 2022 di tiga seksi wilayah Sumatera yang mencapai tahap P21 berjumlah 145 kasus. Sebanyak 62 kasus di wilayah I (Sumut dan Aceh). Pada tahun 2022 ada tiga kasus yang diproses GAKKUM hingga P.21.

Sementara, berdasarkan data yang diperoleh INJI Warrior dari Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasipenkum) Kejatisu Yos Arnold Tarigan, sepanjang tahun 2022 ada lima kasus perdagangan satwa yang memasuki tahap persidangan. Dua di antaranya kasus perdagangan 15 kilogram sisik kulit trenggiling dengan terdakwa Jospando Silaban dan Darwin Purba, dan perdagangan satu individu orangutan dengan terdakwa Thomas Di Raider.

Menurut Haluanto, wewenang GAKKUM hanya di tingkat penyidikan hingga berkasnya lengkap untuk dilimpahkan ke pengadilan (P.21). Proses hukum selanjutnya di tingkat persidangan, yang selanjutnya pada tuntutan jaksa dan vonis hakim.“Mengenai vonis itu proses selanjutnya di persidangan,” katanya.

Menurut Bobi Handoko dari Sumatra Eco Project, lembaga non-profit yang fokus memantau kejahatan terhadap satwa di Sumut dan Aceh, selain vonis yang tidak maksimal, kurangnya keseriusan dalam penindakan dan penegakan hukum membuat kejahatan terhadap satwa terus terjadi.   

“Meminimalisir wildlife crimes harus dengan kesadaran dan ketegasan yang berkelanjutan. Meningkatkan vonis saya kira juga sangat penting. Namun yang paling menjadi masalah adalah kurangnya keseriusan dalam penegakkan hukum,” katanya.

 

Seeokor macan dahan berhasil diamankan dari perdagangan gelap. Menurut Bobi Handoko dari Sumatera Eco Project, selain vonis maksimal, keseriusan penegakan hukum juga perlu untuk meminimalisir perdagangan satwa. Foto: Dok. Sumatera Eco Project

 

Tergantung kerasnya backing

Seorang mantan penjual yang pernah ditangkap dan divonis penjara, Ali*—bukan nama sebenarnya—mengatakan pemain di lingkaran perdagangan satwa terdiri dari ‘kasta-kasta’ tersendiri. Ada pemain yang yang punya backing keras, dan ada pemain yang hanya mengandalkan kelihaiannya mengelabui petugas.

Dia menyebut nama Thomas Di Raider, yang ditangkap polisi bersama empat temannya saat hendak menjual satu bayi orangutan di Komplek Perumahan Cemara Asri, Deli Serdang, Sumatera Utara, 28 Fabruari 2022. 

Pada sidang putusan di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam, 17 Oktober 2022, Thomas divonis bersalah dan dihukum selama satu tahun, sementara empat rekannya tidak disidang karena dianggap di bawah umur.

Kata Ali, nama Thomas memang tidak asing di lingkaran perdagangan satwa liar. Dia terbilang licin karena dia diketahui punya backing keras.

“Setelah saya ditangkap dan ditahan, dari seorang penyidik [di kepolisian] saya tahu bahwa dia punya backup kuat,” kata Ali saat ditemui di rumahnya yang berada di sebuah desa di salah satu kabupaten di Sumut.

“Itu makanya dia berani main orangutan dan ‘bahan-bahan keras’ (istilah untuk hewan dilindungi), dia termasuk pemain yang dianggap ‘berani’ jual hewan-hewan appendix,” katanya.

Ali juga curiga bahwa Thomas mau membocorkan aktivitas penjual yang tidak mau berkolaborasi dengannya.

Suatu kali Ali mendapatkan ‘bahan keras’ (istilah untuk satwa dilindungi), yang kemudian ditawar Thomas, namun Ali menolaknya. Dia menjualnya ke seller lain. Ali merasa curiga sejak saat itu ada yang memantau gerak-geriknya, hingga akhirnya dia ditangkap aparat.

“Seorang penyidik bertanya kepada saya setelah ditangkap, ‘Kau kenal Thomas? Kau jangan main sama dia, dia orangnya licin, punya backing kuat,’” ujar Ali.

Dia menduga bocornya aktivitasnya sebelum ditangkap tidak lepas dari informan yang juga pemain di lingkaran penjual satwa liar, salah satunya adalah Thomas. “Saya yakin dia ikut menjebak saya,” katanya.

Backing di belakangnya juga tidak mengherankan ketika dia hanya divonis 12 bulan penjara, yang dinilai terlalu ringan bila mempertimbangkan satwa yang diperjualbelikannya, satwa dilindungi dan terancam punah. “Mungkin karena dia punya backing kuat bisa aja lebih ringan,” kata Ali.

Ali tertangkap pada 2021 bersama ‘barang keras’—nama hewan sengaja tidak diungkap untuk tidak memicu orang memperdagangkannya—yang akan dikirimnya kepada pembelinya di luar provinsi.

Dia curiga seorang informan telah membocorkan gerak-geriknya. Dugaan dia informan yang membocorkan gerak-gerik dan identitasnya adalah orang yang juga pemain di lingkaran perdagangan satwa yang bermain dengan polisi. Dia mencurigai Thomas.

Ali sendiri divonis setahun lebih, lebih tinggi dari vonis Thomas yang menjual orangutan, satwa dilindungi yang terancam punah. Dia pernah ditawarkan untuk memberikan uang agar hukumannya diringankan, tapi dia menolak. “Aku memang tak punya backing dan uang, jadi hukumannya saya jalani saja,” katanya.

 

Tim InjiWarrior/TS

*Dua nama narasumber dalam laporan ini disamarkan demi melindungi privasinya.

 

 

 

 

 

JOIN US




JOIN US