InjiWarrior - Jonneri tiba-tiba terdiam. Bibirnya beku. Air matanya perlahan berlinang dan seketika mengheningkan suasana pada siang terik.
Lelaki kurus berumur 54 tahun ini memang tak pernah kuasa membendung tangis kala mengingat-ingat kembali masa lalunya. Perasaan bersalah terus menghantui; menafkahi keluarga dengan cara terlarang.
Jonneri merupakan mantan perambah hutan di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Ayah tiga anak ini tak ingat lagi ada berapa pohon yang berakhir di tangannya.
Di hutan yang sekaligus jadi saksi bisu masa lalunya itu, yakni Resor Sekoci TNGL, Desa Sei Lepan, Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, Minggu (7/11/2021), Jonneri meluapkan penyesalan.
"Saya selalu sedih jika mengingat dulu. Saya terus kepikiran asal uang yang saya beri untuk makan dan sekolah anak. Ini yang membuat saya tidak tahan," kata Jonneri sesenggukan sembari mengusap air mata.
Langkah yang membawa Jonneri sampai di tepi hutan belantara berawal dari iming-iming seorang oknum tak bertanggung jawab. Hasrat meraup penghasilan besar dengan modal kecil merayu Jonneri hingga masuk dalam jerat tipu.
Tak perlu waktu lama bagi Jonneri untuk sadar. Dia langsung pasrah setelah mengetahui lahan yang dikelola sejak 2013 itu berstatus hutan negara. Aktivitasnya dilarang dan berisiko pidana.
Situasi memaksa Jonneri berurusan dengan aparat terkait. Namun, tuntutan hidup menyulut perlawanan di batin. Jonneri sempat tak mau begitu saja tunduk. Hingga akhirnya dia paham bahwa perbuatannya tak hanya melanggar hukum, namun juga merugikan umat manusia di muka bumi.
Hari berganti. Seberkas harapan perlahan muncul. Sejak tiga tahun lalu, Jonneri membulatkan tekad untuk tak lagi mengulang kesalahan. Jonneri dan sejumlah eks penggarap lain berbondong-bondong gabung dalam program Kelompok Tani Hutan Konservasi (KTHK).
KTHK merupakan program andalan Direktorat Jenderal Sumber Daya Alam Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Program ini bertujuan mencegah praktik perambahan terus meluas sekaligus memulihkan ekosistem.
Skema yang digunakan terbilang unik. Merangkul para penggarap atau oknum yang selama ini menduduki kawasan hutan secara ilegal. Mereka diikat dengan sederet perjanjian dan diakui legal oleh pemerintah.
Bagi mereka yang sudah terlanjur dan menjadikannya sebagai sumber penghasilan hidup, tetap diizinkan mengelola lahan. Namun tentunya dengan berbagai catatan. Antara lain dilarang memperluas area kelola dan tunduk pada perjanjian yang sudah disepakati.
Tumbuhan yang ditanam juga tidak sembarang. Pepohonan yang diprioritaskan berkategori Multi Purpose Tree Spesies (MPTS). Contohnya mangga, kemiri, durian, alpukat, cengkeh, nangka, jambu, petai dan lain sejenisnya. Jenis tumbuhan ini dianggap memberi manfaat lebih.
Di samping legalitas, mereka dibekali pelatihan serta bantuan bibit. Sambil menunggu panen MPTS, mereka mengais penghasilan dari tanaman palawija. Mereka juga dibantu dalam tahap pemasarannya sehingga kian mempermudah.
Program ini begitu menguntungkan serta berarti bagi orang-orang seperti Jonneri. Bukan sekadar menggali nafkah, berpartisipasi dalam KTHK juga cara bagi mereka menebus kesalahan pada masa lalu.
Jonneri kini memimpin Kelompok Tani Bina Lestari, bagian dari KTHK di Resor Sekoci TNGL. Kelompok tersebut terdiri atas 51 orang anggota. Mereka mengelola lahan seluas 101 hektare.
"Dulu kalau mendengar langkah orang sedikit saja, saya langsung takut. Khawatir. Tapi kalau sekarang tidak. Artinya, sudah lega sekarang saya bekerja. Semoga hasilnya juga halal," tutur Jonneri.
Perjuangan tidak mudah. Penuh aral terjal. Anggota KTHK yang sejatinya merupakan eks perambah hutan, membutuhkan pendampingan serta penguatan di berbagai sektor. Pendekatannya juga mesti terukur dan efektif, agar tak cuma jadi bom waktu.
Masrizal Saraan, Direktur Yayasan Pesona Tropis Alam Indonesia atau PETAI, masih ingat betul bagaimana reaksi eks perambah saat pertama kali mendengar tentang program KTHK. Sejarah panjang konflik tenurial menempa paradigma mereka. Petugas TNGL merupakan musuh dan harus dilawan. Sebagian lagi bahkan menganggap program ini sebatas proyek belaka.
"Pengetahuan tentang KTHK belum merata sehingga menjadi tantangan tersendiri. Apalagi mereka ini mayoritas bertani dengan metode dan ilmu turun-temurun dari leluhur," kata Masrizal.
Di mata Masrizal, yang sudah belasan tahun berkecimpung di dunia konservasi, KTHK bagaikan senjata pamungkas. Efektif untuk membentengi gelombang praktik perambahan hutan. Akan tetapi, menurutnya, ada sisi yang wajib diperhatikan agar visi dari program tersebut benar-benar tercapai.
Kelompok tani harus memeroleh pendampingan optimal, mulai dari hilir hingga hulu. Ada tiga pendekatan yang bisa ditempuh. Yaitu penguatan kapasitas kelembagaan, penguatan kapasitas area kelola dan kapasitas dalam pemanfaatan potensi usaha.
Kini, Yayasan PETAI telah mendampingi 16 kelompok tani yang tergabung dalam program KTHK di Resor Sekoci TNGL, Desa Sei Lepan, Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Total 600 kepala keluarga mendapat akses kelola hingga 1.000 hektare di kawasan tersebut.
Yayasan PETAI juga telah memperluas jangkauan. Mereka kini mendampingi tiga kelompok tani lain resor berbeda, yakni di Resor Bekancan TNGL, Kecamatan Telagah, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
Hampir segala rintangan sudah dilalui Masrizal dalam proses pendampingan. Semua itu menambah keyakinannya bahwa KTHK merupakan solusi mutakhir untuk persoalan kompleks konflik tenurial.
"Pengakuan atas eksistensi TNGL oleh eks perambah menjadi titik-ungkit dari keberhasilan program ini," kata Masrizal.
Menurut Kepala Bidang Teknis Konservasi Balai Besar TNGL Adi Nurul Hadi, sudah terdapat setidaknya 40 KTHK di kawasan TNGL. Mereka tersebar di beberapa daerah di Sumatera Utara dan Aceh. Yakni di kabupaten Langkat, Kabupaten Aceh Tenggara dan Kabupaten Gayo Lues.
Terdapat lebih tiga ribu hektare lahan ditetapkan sebagai wilayah pemulihan ekosistem. Program ini diikuti oleh total 1.500 lebih kepala keluarga. Penerapannya melibatkan multipihak.
Bagaimanapun, prosesnya tidak mudah. Adi bercerita bahwa persoalan yang mereka dihadapi tidak hanya berasal dari eksternal. Namun juga internal balai.
Sebelum kemitraan konservasi diluncurkan, petugas terbiasa mengedepankan pendekatan yustisi atau penegakan hukum. Tegang urat antara petugas dan perambah seolah makanan sehari-hari.
Namun kini berbeda. Pemerintah menawarkan prinsip-prinsip baru. Pengelolaan kawasan konservasi tidak boleh lagi mengabaikan peran alias partisipasi masyarakat. Khususnya mereka yang sudah terlanjur menduduki kawasan hutan. Oleh sebab itu, lanjut Adi, peralihan cara pandang dan pola kerja menjadi prioritas sekaligus tantangan tersendiri buat mereka.
"Dan itu memakan waktu. Petugas Polhut yang dulu biasa melarang, kini harus merangkul. Membuka diri untuk berkomunikasi dengan penggarap. Tentunya dengan target minimal petugas bisa berkomunikasi dulu dengan penggarap," kata Adi.
Adi menjelaskan sekilas tentang kriteria yang wajib dipenuhi agar dapat bergabung dalam KTHK. Pertama, mereka merupakan warga yang sudah terlanjur menggarap. Dengan kata lain, tidak dibenarkan untuk memperluas area kelola. Syarat lainnya adalah kemauan dan komitmen. Para perambah wajib mengakui status TNGL sebagai hutan konservasi dan tunduk pada aturan yang berlaku.
"Mereka tidak hanya dibantu dalam upaya pemulihan ekosistem, namun juga ikut dalam kegiatan seperti patroli pengamanan, pendataan dan monitoring satwa liar. Mereka kami ajak mengetahui potensi di dalam kawasan dan menyadarkan betapa pentingnya kawasan TNGL," kata Adi.
Bicara soal kemitraan konservasi tentu tak bisa dilepaskan dari nama Wiratno, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Program KTHK sendiri merupakan produk awal Wiratno usai dilantik pada 2017. Melalui 10 prinsip, Wiratno memperkenalkan panduan baru dalam tata cara dan pengelolaan kawasan konservasi. Di antaranya menempatkan masyarakat sebagai subjek atau pelaku utama. Poin lain menyentil tentang hak asasi manusia dengan segala adat budayanya.
Menurut Wiratno, inovasi ini merupakan hasil dari analisa panjang terhadap persoalan kompleks konflik tenurial di Indonesia. Dia yakin kemitraan konservasi merupakan jalan tengah untuk memulihkan ekosistem tanpa merugikan siapapun. Setidaknya dalam menghentikan laju perambahan.
"Masyarakat menjadi social buffer, membantu kami menjaga kawasan konservasi. Sebetulnya mengurus hutan di Indonesia ini tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ekonomi masyarakat setempat," kata Wiratno.
Dari sekitar 27 juta hektare hutan konservasi, menurut Wiratno, 1,8 juta hektare di antaranya telah rusak. Angka yang tidak bisa dianggap remeh.
Wiratno memandang persoalan hutan di Indonesia dari sudut berbeda. Menurutnya, praktik-praktik perusakan seperti penebangan pohon dan perburuan satwa dilindungi merupakan bagian dari gejala atau simptom. Sedangkan core problem sesungguhnya adalah kemiskinan.
"Saya kira ini jalan tengah yang bagus dan terbaik untuk Indonesia, melihat kondisi sosial ekonomi masyarakatnya dan situasi sejarah penetapan TNGL," kata Wiratno.
Wiratno tak menampik bahwa KTHK bisa dipandang publik sebagai trik untuk mengampuni para perambah. Lagi-lagi, Wiratno punya pandangan beda.
"Kalau mereka masuk kawasan karena miskin, ya harus diberi solusi. Kemitraan konservasi ini bukan hanya pemberian akses, tapi kembali kita belajar untuk membangun dialog. Karena pada prinsipnya manusia adalah makhluk berkomunikasi," tutur Wiratno.
Kemitraan konservasi memang formula baru dalam sejarah perjuangan pemulihan ekosistem. Namun cara tersebut telah mendapat dukungan dari sejumlah pihak. Di antaranya lembaga donor Tropical Forest Conservation Action for Sumatera atau TFCA-Sumatera.
TFCA merupakan skema pengalihan utang untuk lingkungan alias debt-for-nature swap yang dibentuk Pemerintah Amerika Serikat bersama Pemerintah Indonesia.
Pemerintah Amerika Serikat sepakat untuk menghapus utang luar negeri Indonesia senilai hampir US$ 30 juta selama delapan tahun. Sedangkan Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menyalurkan dana pembayaran utangnya tersebut dalam satu rekening khusus.
Uang ini akan dipakai untuk mendukung penyediaan dana hibah bagi perlindungan dan perbaikan hutan tropis Indonesia. Skema ini merupakan perdana bagi Indonesia.
Direktur TFCA-Sumatera Samedi mengungkapkan bahwa TNGL merupakan kawasan konservasi yang kini menjadi prioritas intervensi pihaknya.
Di hutan ini terdapat empat spesies kunci yang terancam punah. Yakni harimau, gajah, orangutan dan badak. Dari 13 landscape yang diintervensi TFCA-Sumatera, satu di antaranya adalah Kawasan Ekosistem Leuser.
"Ini sangat penting karena hutan di ekosistem Leuser jadi yang terbesar di yang masih tersisa dalam kondisi utuh," kata Samedi.
Samedi menyadari bahwa kemitraan konservasi merupakan hal baru dalam upaya penyelamatan hutan dan spesies penghuni. Namun menurutnya, program ini layak ditempuh.
Untuk itulah, TFCA-Sumatera memberi bantuan dana hibah kepada organisasi yang berniat terjun membantu. Satu di antara lembaga yang memeroleh donor adalah Yayasan PETAI. Yayasan ini bertugas mendampingi kelompok tani yang bergabung dalam KTHK.
"Paling tidak sepanjang masalah perambahan itu tidak melebar, atau menjadi lebih luas, sampai di situ kami yakin kemitraan konservasi bisa menahan laju kegiatan ilegal di kawasan konservasi," katanya mengakhiri.