INJIWARRIOR

Injiwarrior.com adalah portal berita lingkungan yang menyampaikan informasi edukatif serta informasi tentang pengungkapan, pencegahan maupun penindakan kasus - kasus kejahatan satwa liar dan pengrusakan hutan di Indonesia. Kami menyampaikan berita yang berkualitas dan berupaya menerapkan standar tinggi jurnalisme dalam meliput peristiwa dan menuliskannya secara tajam, cerdas dan berimbang.

Populasi Satwa Liar di Dunia Menurun 73%

Kedih (Presbytis thomasi) menjadi salah satu satwa liar yang terancam populasinya di Bukit Lawang, Sumatera Utara. Foto Inji Warrior/ Rahmad Suryadi

Internasional

Populasi Satwa Liar di Dunia Menurun 73%

Penurunan populasi satwa liar disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya, sistem pangan yang tidak berkelanjutan menyebabkan penyempitan habitat dan penyusutan ekosistem. Selain itu, pemanfaatan berlebihan serta munculnya spesies dan penyakit invasif turut memperburuk kondisi ini.

26 Oktober 2024 10:08:00 WIB 01 Januari 1970 07:00:00 WIB

Inji Warrior, Jakarta - Menurut Laporan Living Planet Report (LPR) 2024 dari World Wide Fund for Nature (WWF), populasi satwa liar di dunia menurun 73% selama 50 tahun terakhir (1970-2020). Laporan ini menunjukkan bahwa Bumi mendekati titik kritis berbahaya yang dapat mengancam kehidupan manusia.Living Planet Index (LPI) yang disusun oleh Zoological Society of London (ZSL) mencakup hampir 35.000 tren populasi dari 5.495 spesies antara tahun 1970-2020. 

Penurunan paling tajam terjadi pada ekosistem air tawar (-85%), diikuti oleh ekosistem darat (-69%), dan ekosistem laut (-56%).Peneliti menemukan bahwa beberapa populasi spesies menunjukkan penurunan yang mengkhawatirkan. Contohnya, jumlah penyu sisik yang bertelur di Pulau Milman, Great Barrier Reef, Australia, turun 57% antara tahun 1990-2018.

Selain itu, populasi Pink River Dolphin di Amazon menurun 65%, dan tucuxi, spesies lumba-lumba yang lebih kecil, menyusut 75% antara tahun 1994-2016 di cagar alam Mamirauá, Amazonas, Brasil. Tahun lalu, lebih dari 330 lumba-lumba sungai mati di dua danau selama musim panas dan kekeringan ekstrem.Direktur Jenderal WWF Internasional, Kirsten Schuijt, menyatakan bahwa alam sedang mengeluarkan panggilan darurat. 

Krisis hilangnya keanekaragaman hayati dan perubahan iklim telah mendorong satwa liar serta ekosistem melampaui batas kemampuan mereka, menciptakan titik kritis global yang berbahaya. Situasi ini dapat merusak sistem penyangga kehidupan di Bumi dan mengancam masyarakat.“Konsekuensi bencana dari hilangnya beberapa ekosistem yang paling berharga, seperti hutan hujan Amazon dan terumbu karang, akan dirasakan oleh manusia dan alam di seluruh dunia,” ungkap Kirsten lewat keterangan tertulisnya, Kamis (10/10).

Ancaman dan Harapan

Penurunan populasi satwa liar disebabkan oleh berbagai faktor. Sistem pangan yang tidak berkelanjutan menyebabkan penyempitan habitat dan penyusutan ekosistem. Selain itu, pemanfaatan berlebihan serta munculnya spesies dan penyakit invasif turut memperburuk kondisi ini.

Perubahan iklim juga menjadi ancaman tambahan yang signifikan bagi keanekaragaman hayati. Hal ini terutama berdampak pada populasi satwa liar di Amerika Latin dan Karibia. Wilayah ini mencatat penurunan rata-rata populasi satwa liar sebesar 95%.Di samping itu, meskipun ada penurunan, LPI juga menunjukkan beberapa populasi yang menunjukkan kestabilan atau peningkatan berkat upaya konservasi yang efektif.

Contohnya, sub-populasi gorila gunung di pegunungan Virunga, Afrika Timur, meningkat sekitar 3% per tahun antara tahun 2010-2016, dan populasi Bison Eropa di Eropa Tengah juga mulai pulih. Meskipun demikian, keberhasilan di satu wilayah tidaklah cukup untuk mengatasi masalah ini secara keseluruhan.

Penurunan Populasi Satwa Liar Tingkatkan Risiko 

KepunahanSementara itu, penurunan populasi satwa liar dapat menjadi indikator peringatan dini mengenai meningkatnya risiko kepunahan dan potensi hilangnya ekosistem yang sehat. Ketika ekosistem rusak, mereka tidak lagi mampu memberikan manfaat yang selama ini diandalkan manusia.

 Seperti udara bersih, air, dan tanah yang sehat untuk makanan.Akibatnya, ekosistem menjadi lebih rentan terhadap titik kritis. Titik kritis ini terjadi ketika suatu ekosistem terdorong melampaui ambang batas. Hal itu bisa mengakibatkan perubahan substansial dan berpotensi tidak dapat dipulihkan.Secara global, hilangnya hutan hujan Amazon dan kematian massal terumbu karang menandai titik kritis ini. 

Dampak peristiwa ini tidak hanya dirasakan di area sekitar, tetapi juga menjalar jauh ke belahan dunia lain. Bahkan, dapat mengancam ketahanan pangan dan sumber mata pencaharian.Peringatan ini semakin mendesak karena kebakaran di Amazon mencapai tingkat tertinggi dalam 14 tahun pada bulan Agustus. Selain itu, pemutihan terumbu karang massal global yang keempat telah terjadi dan dikonfirmasi pada awal tahun ini.

Komitmen Negara Masih Jauh

Saat ini, berbagai negara telah menyepakati tujuan global yang ambisius untuk menghentikan hilangnya keanekaragaman hayati. Hal itu tercantum dalam Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global. Negara-negara juga berkomitmen untuk membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5°C berdasarkan Perjanjian Paris. Selain itu, mereka juga berusaha mengentaskan kemiskinan sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB.

Namun, Living Planet Report menunjukkan bahwa negara-negara masih jauh dari memenuhi target 2030. Mereka belum bertindak untuk menghindari titik kritis yang berbahaya.

CEO WWF-Indonesia, Aditya Bayunanda menegaskan bahwa semua pihak perlu waspada terhadap dampak perubahan iklim pada keanekaragaman hayati, terutama hilangnya habitat yang dapat memicu kepunahan spesies kunci di Indonesia.

“Semua pihak—pemerintah, swasta, masyarakat, LSM, dan universitas—perlu bersinergi untuk mengatasi dampak ini. Penting bagi pemerintah mengorkestra upaya bersama yang melindungi habitat. Termasuk masyarakat adat dan lokal, serta menegakkan hukum atas kejahatan lingkungan,” ucapnya.

WWF juga mendesak pemerintah untuk membuka akses pendanaan publik dan swasta yang lebih besar agar dapat melakukan aksi dalam skala besar. Selain itu, penting untuk menyelaraskan kebijakan dan tindakan terkait iklim, alam, dan pembangunan berkelanjutan dengan lebih baik.

Baik pemerintah maupun sektor bisnis harus bertindak segera untuk menghilangkan kegiatan yang berdampak negatif terhadap keanekaragaman hayati dan iklim. Mereka perlu mengalihkan pendanaan dari praktik-praktik yang merugikan ke kegiatan yang mendukung pencapaian tujuan global.

JOIN US




JOIN US