INJIWARRIOR

Injiwarrior.com adalah portal berita lingkungan yang menyampaikan informasi edukatif serta informasi tentang pengungkapan, pencegahan maupun penindakan kasus - kasus kejahatan satwa liar dan pengrusakan hutan di Indonesia. Kami menyampaikan berita yang berkualitas dan berupaya menerapkan standar tinggi jurnalisme dalam meliput peristiwa dan menuliskannya secara tajam, cerdas dan berimbang.

Medan dan Deliserdang Tertinggi Kasus Perdagangan Satwa Liar di Sumut

Kiri ke kanan : Muhammad Indra Kurnia, Deputi Direktur Perlindungan Spesies dan Habitat (YOSL-OIC), Kepala Divisi SDA LBH Medan, Muhammad Alinafia Matondang, Campaigner, Wildlife Whisperer Sumatra (W2S),Badar Johan dan Direktur STFJ Rahmad Suryadi saat memberikan keterangan dalam konferensi pers catatan akhir tahun STFJ di Bergendaal Koffie, Medan, Sumatra Utara (29/12/22). (STFJ)

Kejahatan Satwa

Medan dan Deliserdang Tertinggi Kasus Perdagangan Satwa Liar di Sumut

Tren perdagangan satwa liar lindung di Aceh dan Sumut berbeda.

29 Desember 2022 20:30:00 WIB 30 Desember 2022 01:44:46 WIB

Medan, INJIWARRIOR - Kota Medan dan Deliserdang berada di puncak tertinggi kasus perdagangan satwa liar lindung di Sumatra Utara (Sumut). Selama enam tahun terakhir, jumlah kasus perdagangan satwa liar dilindungi di Sumut sudah puluhan yang masuk ranah hukum.

Hal itu diungkapkan Deputi Direktur Perlindungan Spesies dan Habitat Yayasan Orangutan Sumatera Lestari - Orangutan Information Center (YOSL-OIC), Muhammad Indra Kurnia pada Catatan Akhir Tahun Sumatra Tropical Forest Journalism (STFJ) 2022 di Medan, Kamis (29/12/2022).

Indra menegaskan, kota dan kabupaten yang merupakan daerah dengan kasus tertinggi itu berdasarkan penelusuran sistem informasi penelusuran perkara (SIPP).

"Dari kasus yang banyak ditangani Medan 21 kasus dan Deliserdang delapan kasus. Ini data dari SIPP dan sudah vonis dari 2016 sampai 2022. Total 45 kasus di Sumut diproses hukum," jelasnya.

Daerah tertinggi lainnya adalah Langkat dengan empat kasus perdagangan. Disusul Tapanuli Utara rangking dengan tiga kasus. Kemudian, Binjai, Karo dan Labuhanbatu masing-masing dua kasus. Serta Serdangbedagai dan Pematangsiantar masing-masing satu kasus.

Indra mengatakan, perdagangan satwa liar dilindungi menurun pada saat pandemi Covid-19.

"Meski perburuan tetap terjadi, pandemi Covid-19 menyebabkan pengiriman barang diperketat. Jadi, pandemi Covid-19 ada sedikit keuntungan dengan menurunnya perdagangan satwa liar," jelasnya.

Indra mengungkapkan, dalam kurun waktu tersebut, tren perdagangan satwa di Aceh dan Sumut berbeda. Di Sumut, perburuan liar pertama menyasar Harimau Sumatra. Diikuti Trenggiling lalu Orangutan Sumatra. Selanjutnya burung Rangkong posisi keempat, belangkas, kemudian burung yang dilindungi posisi enam besar.

Sementara di Aceh, gajah peringkat pertama menjadi sasaran perdagangan satwa. Lalu diikuti Harimau Sumatra, Beruang, dan burung Rangkong tempat keempat. Sedangkan Trenggiling dan Orangutan Sumatra posisi kelima dan keenam.

Sementara Conservation Director The Wildlife Whisperer of Sumatra(2WS), Badar Johan mengatakan, bila upaya menjaga konservasi satwa dan lingkungan ini tidak bisa dilakukan sendiri. Harus ada tindakan nyata dan serius dalam mendorong penegakan hukum menjamin keberlangsungan ekosistem satwa liar dilindungi dan lingkungan.

Badar menegaskan 2WS menyuarakan kepedulian terhadap satwa dan konservasi lingkungan melalui media sosial, dengan memberikan edukasi dan informasi kepada masyarakat. Serta turut mengawal kasus-kasus terhadap kejahatan satwa dan lingkungan.

 

UU No.5 Tahun 1990 Belum Maksimal

Kepala Divisi SDA LBH Medan Muhammad Alinafia Matondang menyebutkan, bila vonis hukuman para pelaku kejahatan satwa atau kejahatan konservasi masih jauh dari penetapan maksimal UU Nomor 5 tahun 1990 dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara dan denda Rp100 juta. Ini belum memberi efek jera bagi pelaku.

Seperti kasus perdagangan Orangutan Sumatera (Pongo abelii) dengan terdakwa Thomas Raider Chaniago alias Thomas (18). PN Lubuk Pakam Cabang Labuhan Deli yang mengadili perkara tersebut, menjatuhkan vonis satu tahun penjara dan denda Rp 10 juta subsider enam bulan, pada 17 Oktober 2022.

Kemudian kasus perdagangan Orangutan Sumatera dengan terdakwa Edi AP, yang hanya dihukum delapan bulan penjara dan denda Rp100 juta, subsider dua bulan penjara.

"Ancaman hukumannya UU Nomor 5 tahun 1990 itu lima tahun, kenapa tidak ada yang maksimal. Begitu juga hukuman denda, kenapa hanya Rp100 juta. Ini menjadi pertanyaan," ujar Alinafia heran.

"Regulasi UU Nomor 5 tahun 1990 harus direvisi khususnya persoalan hukuman harus lebih dari 5 tahun. Juga tidak bisa lagi denda hanya Rp100 juta. Padahal kerugian satu Orangutan Sumatera itu mencapai Rp1 miliar," tegasnya.

Sumatera Tropical Forest Jurnalisme (STFJ) soroti kasus kejahatan satwa (wildlife crime) yang terjadi di Aceh dan Sumatra Utara (Sumut). Ringannya vonis hukuman hingga kasus melibatkan mantan kepala daerah yang masih mengambang menjadi catatan STFJ.

Direktur STFJ Rahmad Suryadi mengatakan, hukuman ringan terhadap pelaku kejahatan tak memberikan efek jera terhadap para pelaku. Hal ini menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan satwa liar dilindungi.

STFJ pun mendorong pemerintah dan para pemangku kebijakan segera merevisi UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

"Menyikapi sejumlah kasus persidangan diatas, STFJ menilai UU Nomor 5 tahun 1990 dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara dan denda Rp100 juta tidak membuat efek jera bagi pelaku kejahatan karena masih terlalu ringan," kata Rahmad.

 

Penulis: Aris

Editor: N Sulaiman

 

JOIN US




JOIN US